Monday, December 22, 2014

Sebuah Catatan dari Perjalanan Hajiku
















Ujian kesabaran sejak keberangkatan


Pesawat kami yang rencananya berangkat jam 10:00 hari Jumat 14 Desember 2007, akhirnya berangkat jam 13:00, padahal kami sudah berkumpul sejak jam tujuh pagi di masjid tempat pelepasan. Perjalanan Jakarta Jeddah dengan transit di Medan untuk mengisi bahan bakar berjalan cukup lancar. Para jemaah pria berganti pakaian ihram di pesawat pada posisi Miqat, 1.5 jam sebelum kami mendarat di Jeddah pada pukul 10 malam. Pakaian Ihram adalah simbol kepatuhan seorang hamba Allah yang akan berkunjung sebagai tamu Allah.

Proses imigrasi rupanya sangat birokratis di Jeddah. Kami perhatikan passport kami diperiksa di enam tempat dan makan waktu 7 jam sebelum akhirnya kami bisa keluar. Rupanya ada beberapa orang yang diambilkan dari alokasi kuota dari maktab yang berbeda dalam group kami yang menimbulkan masalah dalam proses imigrasi. Namun hal luar biasa yang kami amati, selama masa-masa penantian yang panjang di Jakarta maupun di Jeddah tidak seorangpun dari jemaah yang marah, kesal atau menggerutu. Semua menanti dengan sabar dan mengisi waktu dengan kegiatannya masing masing ; tidur dilantai beralas karpet, makan, sholat, berdoa dll. Saya mengisi waktu luang dengan menulis artikel untuk blog. Kesabaran ini cerminan ikhlasnya niat para jemaah berangkat beribadah karena Allah dan kesiapan menerima berbagai tantangan yang akan datang.

Kami meninggalkan airport King Abdul Aziz pada pukul 5 pagi dan tiba di apartemen kami di Azizia jam 7 pagi, disambut makan pagi yang cukup enak, dilanjutkan dengan istirahat, karena siangnya kami akan melakukan ibadah umroh.


Shalat Ashar diantara himpitan ribuan orang di depan Ka’bah

Rentetan ibadah haji kami dimulai dengan ibadah umroh. Kami sampai di Masjidil Haram mendekati saat shallat ashar dan segera memulai thawaf yaitu mengelilingi kabah 7 kali sambil berdzikir dan berdoa.

Siang itu matahari sangat terik dan suhu udara di Mekkah cukup panas. Thawaf kami lakukan dalam kelompok berjumlah 24 orang dipimpin oleh seoran ustadz. Kami membentuk barisan dan berpegangan erat agar tidak terpisahkan oleh desakan jemaah lain. Hari itu thawaf sangat padat dan berdesakan. Selain membaca doa pujian bagi Allah dan Rosulullah, di masing-masing putaran saya memanjatkan doa bagi setiap anggota keluarga secara bergiliran. Ada perasaan senang telah menyampaikan harapan dan permintaan didepan ka’bah. Timbul keyakinan di hati saya bahwa harapan-harapan tersebut akan terlaksana ketika kami secara serius mengupayakannya.

Thawaf kami terpotong oleh panggilan sholat ashar, sehingga kami berhenti untuk shalat. Berada di sekitar 5 meter didepan Kabah, berhimpitan diantara ribuan jemaah kami tidak bisa menggerakkan anggota badan kecuali menganggukkan kepala sebagai tanda rukuh dan sujud dalam melakukan sholat kami. Meskipun demikian sholat berdiri ini tetap berlangsung dengan baik dan tertib. Setelah sholat kamipun menyelesaikan thawaf kami hingga lengkap 7 putaran, dilanjutkan dengan sholat sunnah didepan Maqam Ibrahim dan minum air zam zam.

Rangkaian ibadah umroh selanjutnya adalah Sa'i yaitu berjalan antara bukit Safa dan Marwah 7 kali. Perjalanan ini menirukan perjuangan Siti Hajar, istri Nabi Ibahim yang tanpa lelah dan putus asa berusaha keras untuk mendapatkan air untuk anaknya Ismail. Setelah mondar mandir naik turun bukit, akhirnya ditemukanlah mata air zam zam di dekat kaki Ismail.
Perjalan Sa'i ini sangat relevan dalam menggambarkan perjalanan hidup kita, dimana untuk meraih cita cita kita perlu berjuang berkali- kali, kadang jalan yang kita lalui sangat mendaki dan sulit, ada kalanya lebih mudah bagai jalan turunan, begitulah kehidupan. Untuk berhasil kita akan melalui berbagai kegagalan dan cobaan namun kita harus tetap yakin dan terus berusaha niscaya Allah akan mengabulkan keinginan kita.

Dengan usainya Sai, maka ibadah umrah ditutup dengan tahallul, yaitu memotong rambut tanda berakhirnya status ihram. Para jemaah pria bisa mengganti pakaian ihramnya, yang tidak lebih dari 2 lembar kain putih tanpa jahitan, dengan pakaian biasa.

Petikan pelajaran hidup dari kehidupan di Tenda Mina

Setelah beristirahat sehari, pada tanggal 17 Desember kami berangkat dengan berjalan kaki sepanjang 3 km ke Tenda Mina. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dan beriringan dengan ratusan ribu jemaah dari berbagai negara semua mengumandangkan Talbiyah : Labbaik Allahuma labbaik (aku datang memenuhi panggilan mu ya Allah...).

Tenda kami (maktab 82) terletak diujung. Tenda berukuran 10 x 10 meter itu diisi 100 jemaah, sehingga masing-masing orang hanya punya ruang cukup untuk berbaring saja. Pagi itu sebagian besar tenda masih kosong sehingga antrian makanan dan toilet masih mudah. Toilet merangkap kamar mandi ala kadarnya berukuran 80 x 80 terlihat cukup bersih dan tidak bau. Pada puncaknya kota tenda Mina dihuni oleh 4 juta jemaah, tenda kami menjadi sangat padat, sehingga untuk sekedar buang air kecil kami harus menunggu sekitar 6-10 orang di depan kami sementara untuk makan paling tidak kami harus antri dengan sabar selama 30 menit sampai 1 jam. Sungguh sebuah latihan kesabaran dan toleransi yang luar biasa.

Pada saat itu langsung terbayang di kepala saya bagaimana rasanya para korban banjir di tanah air yang harus tinggal di tenda-tenda penampungan dalam waktu yang berkepanjangan sementara harta bendanya ludes ditelan banjir. Bagi kami di Tenda Mina, paling tidak makanan ada dan bergizi meskipun untuk mendapatkannya harus antri panjang. Demikian juga fasilitas sanitasi tersedia meskipun untuk menggunakan nya diperlukan kesabaran. Pengalaman di tenda Mina ini telah berhasil membangun empati yang lebih besar terhadap mereka yang harus mengalami berbagai bencana sekaligus menyadarkan saya betapa Allah sangat memanjakan saya dan keluarga yang telah diberikan kehidupan yang begitu nyaman dan nikmat. Pengalaman ini menyadarkan saya untuk lebih banyak bersyukur kepadaNya bukan hanya dalam doa, tapi juga dalam menolong lebih banyak orang yang membutuhkan..


Berdoa dan berkomunikasi dengan sangat intens denganNya di padang Arafah

Tanggal 18 Desember pada jam 4 pagi kami berangkat mengendarai bus ke padang Arafah. Datang dari tenda Mina yang berdesakan, tenda di Arafah terasa lega dan segar oleh siraman matahari. Pagi itu kami menikmati sarapan pagi yang sangat menyenangkan dalam buaian matahari pagi. Bersama Mario suami saya, kami sempat berjalan jalan mengamati kesibukan dan berbagai kegiatan di padang Arafah.

Acara wukuf dimulai lepas sholat zhuhur dengan khutbah wukuf dan berzikir bersama-sama, setelah itu kami mempunyai waktu untuk memanjatkan doa kami masing masing. Waktu itu saya manfaatkan untuk mohon ampun atas berbagai kesalahan di masa lampau dilanjutkan dengan doa dan permohonan yang panjang untuk masing masing anggota keluarda mulai dari diri sendiri, anak-anak, suami, ibu, ayah, adik dan kakak, dilanjutkan dengan membacakan titipan doa dari teman teman sebelum kami berangkat. Berdoa di padang Arafah, disamping suami, dalam suasana yang sangat mendukung sungguh khusyuk dan menenangkan. Saya merasa dapat berkomunikasi dengan intens denganNya. Semoga Allah mengabulkan doa doa kami.

Bermalam di tepi jalan di kolong jembatan Muzdalifah

Magrib kami meninggalkan padang Arafah menuju Muzdalifah. Jalanan sangat padat, kami sampai di Muzdalifah pada jam 10 malam. Bus kami tidak berhasil masuk ke tempat-tempat parkir yang disediakan, sehingga akhirnya kami berhenti di pinggir jalan dan bersama-sama banyak rombongan dari berbagai negara duduk, sholat dan tidur-tiduran di tepi jalan beralaskan selembar kain selimut yang kami bawa dari tenda Arafah. Ibadah Haji mewajibkan kami untuk Bermalam (Mabit) di Muzdalifah. Disini kami juga mengumpulkan batu kerikil untuk melempar jumroh. Sambil duduk-duduk di tepi jalan itu, kami mengamati berbagai kendaraan yang lewat. Diantara semuanya, yang paling menarik adalah rombongan VVIP keluarga ningrat Arab. Puluhan kendaraan mewah, diawali dan diakhiri oleh kendaraan bersirene. Puluhan kendaraan ini berjalan melawan arah lalu lintas sehingga menimbulkan kemacetan luar biasa. Duduk di tepi jalan memandangi orang orang yang duduk di mobil mewah, membuat saya teringat keseharian
di tanah air dimana kamilah yang duduk di mobil itu, sementara dipinggir jalan berbagai orang memandangi kami sambil mereka-reka siapa orang orang yang di mobil itu, seperti apakah gerangan hidupnya dsb. Berada di sisi yang lain dari kehidupan ini memang memperkuat empati dan solidaritas sesama umat. Lagi-lagi sebuah pengalaman yang sangat berharga.

Jam 1 pagi ustadz Farhat sebagai pimpinan rombongan memutuskan untuk meninggalkan tempat dengan pertimbangan syarat bermalam di Muzdalifah sudah terpenuhi dan kondisi lokasi yang dekat tempat sampah, dipenuhi asap kendaraan yang tidak sehat sangat tidak baik bagi kami untuk tinggal lebih lama. Kami kemudian kembali ke tenda Mina.



Indahnya Tenda Mina dan jalan jalan sore menuju lokasi lempar Jumroh


Setelah tiduran di pinggir jalan di Muzdalifah, tenda Mina menjadi terasa sangat nyaman, meskipun suasana tenda kali ini sungguh berbeda dengan ketika kami tinggalkan sehari sebelumnya. Kali ini tenda sudah penuh dihuni. Di maktab kami (82) bahkan jauh melebihi kapasitasnya, sehingga koper koper jemaah dari NRA (penghuni tenda depan kami) terpaksa diparkir di gang antar tenda, membuat gang tempat lalu lintas yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Bagaimana pun bermalam di tenda Mina masih lebih nyaman dibanding di tepi jalan di Muzdalifah. Disini lagi-lagi saya disadarkan, betapa kebahagiaan dan kenyamanan itu sangat relatif, tergantung kemana kita membandingkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika dalam kesusahan, saya akan melihat kebawah untuk menghindari perasaan frustasi yang berkepanjangan. Namun, untuk memaksimalkan semua potensi yang kita miliki dan memacu motivasi agar meraih prestasi yang lebih baik, kita perlu lihat keatas, para “role model” yang telah jauh lebih berhasil.

Demi ketertiban dan keamanan lempar Jumroh dilakukan sesuai dengan Jadwal yang sudah dialokasikan sebelumnya. Melontar jumroh ini dibagi dalam 3 tahap. Bagi kelompok kami, jadwal lempar jumroh tahap 1, yaitu Jumrotul Ula adalah pada jam 5 sore. Kami berangkat dari tenda pada jam 4 sore. Tenda kami berjarak 2.5 km sampai ke lokasi lempar jumroh, jarak ini relatif lebih jauh dibanding dengan para jemaah ONH plus lainnya, namun dekat apabila dibandingkan dengan apa yang harus dilalui oleh para jemah reguler. Jalan kaki pergi dan pulang masing masing 2.5 km itu terasa sangat menyenangkan. Kami berpapasan dengan ribuan jemaah dari berbagai negara semuanya berbondong bondong menuju tempat melempar jumroh. Mendekati lokasi lempar jumroh, jemaah mulai semakin padat dan terdengar bunyi ribuan batu membentur dinding yang sangat memekakkan telinga. Lempar Jumroh ini melambangkan perjuangan abadi
melawan hasutan setan yang setiap hari kita hadapi. Bergandengan erat dengan. Mario ditengah kerumunan para pelempar jumroh yang lain proses lempar jumroh berlangsung lancar dan cepat.


Dalam perjalanan pulang menuju Tenda Mina kami mengamati rapihnya deretan Tenda Mina dari ketinggian. Kota ini sungguh unik, hanya digunakan setahun sekali dalam musim haji saja, selebihnya tenda-tenda ini kosong. Dalam perjalanan pulang itu saya juga mengamati pakaian para jemaah wanita. Warna putih dan hitam sangat mendominasi pakaian mereka, kecuali jemaah dari Afrika yang memakai warna warna terang seperti kuning, biru, orange yang terlihat kontras dengan kulit mereka yang hitam. Saya adalah orang yang selalu menginginkan variasi warna dalam pakaian saya, agar merasa dan terlihat segar. Pada hari-hari pelaksanaan ibadah rukun haji dan wajib haji saya selalu menggunakan pakaian berwarna putih, senada dengan jemaah lainnya. Namun diluar itu, ketika melakukan kegiatan-kegiatan sunnah di Medinah dan Mekkah, kepribadian asli saya tampil lagi dengan warna-warna pakaian yang bervariasi. Hal sepele seperti ini pun membuat saya sangat gembira.

Lontar Jumroh tahap 2 (jumrotul Wutso) dilakukan keesokan harinya dipagi hari, sementara lontar Jumroh tahap 3 (jumrotul Aqobah) dilakukan setelah melakukan Thawaf dan Sa’i Haji.



Berdoa sangat khusyuk menjelang subuh di depan Ka’bah

Tanggal 21 Desember pada jam 2:00 dini hari kami meninggalkan tenda Mina menuju Mekkah untuk melaksanakan Thawaf dan Sa’i Haji. Kami tiba di Masjidil Haram pada sekitar pukul 3 pagi dan langsung melakukan thawaf. Pagi itu masjidil Haram tidak terlalu padat dan udara sangat sejuk sehingga thawaf berlangsung sangat lancar dan nikmat. Seusai thawaf kami melakukan shollat sunnah di depan makam Ibrahim dan setelahnya tetap duduk disana berdzikir dan berdoa sambil menunggu waktu shollat subuh. Berdoa dikeheningan pagi, didepan Ka’bah dalam masjid yang megah yang pada waktu subuh terlihat sangat indah dengan permainan lampu yang sangat menunjang sungguh terasa luar biasa. Terharu sekali saya menikmati indahnya pagi dan khusyuknya doa. Saya sungguh merasa seperti berdoa di surga. Subhanallah...

Ritual haji selanjutnya adalah Sa’i Haji dan lontar jumroh tahap 3. Dengan ini lengkaplah sudah seluruh prosesi haji.


Menikmati keindahan Masjid Nabawi

Tanggal 22 Desember sekitar jam 10 pagi kami berangkat menuju Medinah. Aktifitas di kota suci Medinah adalah : menunaikan shalat lima waktu berjamaah di masjid Nabawi, ziarah ke makam Rasulullah dan para sahabat, ziarah ke Rhaudlah dan memperbanyak ibadah dan amal sunnah di masjid Nabawi.

Pertama kali masuk ke masjid Nabawi saya sungguh terpana melihat keindahan dan kemegahan masjid ini. Masjid nan megah ini dikelilingi dengan plaza berlantai marmer putih yang sangat luas dan lega, sehingga memungkinkan kita mempunyai jarak pandang yang luas untuk melihat bentuk masjid secara keseluruhan. Masa Masjid yang secara umum kotak dan datar diberi aksen di berbagai sudut dan gerbang masuk dengan menara yang menjulang tinggi dan diberi
pencahayaan yang sangat dramatis menonjolkan detail-detail dari permainan bentuk disekeliling menara tersebut.

Masuk kedalam masjid lagi-lagi saya dibuat kagum oleh betapa rapih dan cantiknya pengerjaan detail-detail ornamen baik di pintu masuk, di langit-langit, dikurva antar tiang , di bagian dalam kubah, maupun pada tiang tiang yang dibungkus rapih dengan batu marmer putih. Kombinasi dari materi kayu, marmer, logam berlapis emas dan plaster diramu sangat cantik dan berselera tinggi.

Permadani buatan tangan dengan kualitas yang sangat baik dan berwarna merah terlihat sangat kontras diatas lantai marmer putih.Rak-rak buku tempat menyimpan Al Quran dari logam keemasan dibuat dengan sangat teliti, sesuai dengan ukuran Al Quran sehingga menjadi ornamen pelengkap yang serasi dengan ruangan masjid yang indah ini. Bahkan rak sepatu pun dibuat sangat rapi sehingga sangat fungsional dan tidak mengurangi keindahan Masjid.

Shallat 5 waktu di Masjid Nabawi sungguh merupakan waktu-waktu yang sangat saya nikmati bagai wisata rohani sekaligus memanjakan mata. Kekaguman saya pada masjid ini semakin bertambah ketika selepas shallat Dzuhur kubah masjid bergerak membuka dengan mulusnya sehingga sinar matahari nan segar bisa masuk memberikan kesegaran dan kehangatan dalam masjid yang sejuk ini. Sepulang dari shollat tabung air Zam-zam tersedia dalam jumlah yang banyak yang dengan sangat mudah dapat dijangkau dan diminum sebelum keluar masjid.

Setiap hari ribuan jemaah dari berbagai negara dan berbagai warna kulit berbondong-bondong melakukan sholat 5 waktu di masjid Nabawi. Tua, muda, kaya, miskin semuanya sama di masjid ini dan semuanya sangat ramah dan saling menyapa. Ah indahnya Islam.

Penutup

Sebagai wanita karir dengan berbagai peran : Ibu, istri, anak dan pemimpin di kantor maupun diberbagai kegiatan sosial, melepaskan semua kegiatan tersebut selama 3 minggu penuh untuk memenuhi panggilan Allah sungguh suatu pengalaman yang luar biasa dan sangat memuaskan hati. Tantangan berikutnya adalah, bisakah saya menjadi haji yang mabrur, yang ditandai dengan perubahan menjadi lebih baik dari masa sebelumnya dan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Insya Allah....



1 comment: